Sikapi Tantangan Pilkada Serentak Di Maluku Pada Masa Pandemi Covid-19, RMI Maluku Gelar Diskusi Webinar
![]() |
| Ilustrasi |
Diskusi dengan Topik “Tantangan Penyelenggaraan Pilkada
Serentak Tahun 2020 di Maluku pada Masa Pandemi Covid-19” itu dihadiri oleh kurang
lebih 142 peserta dengan menghadirkan narasumber antara lain 1. August Mellaz
(Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi / Tim Penyusun RUU Pemilu) 2.
Almudastzir Sangadji (Anggota KPU Provinsi Maluku) 3. Paulus Titaley (Anggota
Bawaslu Provinsi Maluku) 4. Ramly Umasugy (Ketua DPD Golkar Terpilih / Bupati
Buru) dan 5. Dr. Sherlock Lekipiouw, SH. MH (Akademisi Fakultas Hukum UNPATTI).
Kegiatan yang berlangsung 3 jam lebih ini membahas berbagai
tantangan serta aspek hukum terkait problematika Penyelenggaraan Pilkada
Serentak Tahun 2020 di Maluku pada Masa Pandemi Covid-19, Rabu, (03/05)
Almudastzir Sangadji (Anggota KPU Provinsi Maluku) dalam
kesempatannya sebagai pembicara pertama dalam diskusi itu menjelaskan terkait tantangan
dan strategi KPU Provinsi Maluku dalam menghadapi Pilkada serentak pada masa
Pandemi Covid-19.
Sangadji katakan, mau dan tidak mau kita akan melaksanakan
Pilkada dalam masa pandemi. Namun dia berharap agar KPU dan Bawaslu sebagai
lembaga penyelenggara Pemilu jangan sampai terkesan dipaksakan untuk melaksanakan
Pemilu.
“KPU berharap agar Pilkada serentak yang nantinya dijalankan
pada masa pandemi covid ini janganlah sampai aspek pandemi lebih banyak
ditonjolkan daripada aspek pemilihannya. Untuk itu kami berharap ada
keterlibatan dari banyak pihak dimasa pandemi ini agar bisa mengedukasi.”
Ungkap Dia
Karena ini berkaitan dengan protokol kesehatan yang sudah
dilaksanakan sebelum KPU memasukan itu di dalam PKPU yang baru. Protokol
kesehatan itu berkaitan dengan misalnya soal pemilih, soal peserta yang ada
dalam tahapan, juga soal siapa saja yang terlibat didalam penyelenggaraan
pemilu.
“Memang harus sesuai dengan rekomendasi dari gugus tugas.
Tapi kalau ini yang diurus oleh penyelenggara pemilu maka kita akan kelabakan,
makanya kita tentu saja punya harapan meski ini sudah diatur namun harus ada
semacam kode perilaku, karena seperti yang ada di korea selatan seperti itu, di
korea selatan untuk pemilihan 15 April yang lalu itu mereka punya kode perilaku
pemilih dan kode perilaku itu disosialisasi berulang-ulang.” Tutur dia
Terkait dengan penganggaran, Sangadji berharap dimasa
pandemi ini anggaran yang dikeluarkan nanti itu melalui scenario APBN, sehingga
kemudian dari sisi kesepakatan dan kebijakan penganggaran itu bisa lebih cepat.
“Sebab kalau misalnya mengikuti MPHD masing-masing daerah
takutnya 270 daerah ini dinamikanya tidak bisa dikontrol apakah kebijakan
anggaran itu jadi atau tidak.” Tandas Sangadji
Lanjut Dia, KPU saat ini sementara diminta untuk bisa
merasionalisasi TPS, khusus untuk TPS yang jumlah pemilihnya diatas lima ratus
kemungkinan itu akan dipecah menjadi dua TPS. Jika dibagi menjadi dua TPS
berarti ada penambahan dua KPPS. Personil KPPS ini juga KPU usulkan. Namun belum
bisa dipastikan apakah itu digolkan langsung oleh APBN ataukah memang ada surat
yang lebih tegas yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk kemudian
memaksa kepala daerah yang sementara melaksanakan Pilkada untuk lebih cepat
mengambil kebijakan penambahan anggaran dengan revisi MPHD-nya khusus untuk
protocol covid yang juga berhubungan dengan kebijakan misalnya penambahan TPS
dengan penambahan personil KPPS-nya.
Sangadji juga berharap agar jangan sampai ada akses yang
terbatas, karena orang lagi “stay et home”, “physical distancing” sehingga
walaupun mereka ada dirumah tapi sulit kita konfirmasi.
Dia juga merekomendasikan agar apakah memungkinkan
dilakukannya perivikasi secara virtual atau tidak? dengan mempertimbangkan
kondisi saat ini, kita akan lihat perkembangan regulasinya untuk memungkinkan
bagaimana supaya ketika intensitas tatap muka itu berkurang tetapi kemudian
bisa dijawab misalnya dengan alat bantu teknologi informasi.
“Saya kira barang kali bagian-bagian itu dengan keadaan yang
mendesak sekarang ini sangat penting untuk diputuskan dan didorong sehingga
kemudian tidak terjadi disput terhadap keadaan-keadaan normal yang memang
dilekatkan dengan protocol kesehatan tetapi juga didukung dengan alternative-alternatif
pendekatan lain sehingga dari sisi tahapan kita bisa bekerja dengan
alternatif-alternatif yang tersedia.” Tandas Dia.
Pada kesempatan yang sama Paulus Titaley (Anggota Bawaslu
Prov. Maluku) sebagai salah satu narasumber juga menjelaskan terkait tantangan
dan strategi pengawasan yang dihadapi oleh Bawaslu dalam mengawasi Pilkada
serentak empat Kabupaten di Provinsi Maluku. Tantangan-tantangan itu
diantaranya, tantangan letak geografis empat kabupaten yang dinilai cukup berat.
Tantangan keterbatasan jaringan internet juga dinilai sangat mempengaruhi
penyampaian laporan secara berkala, laporan secara situasional, maupun laporan
masyarakat peserta pemilihan termasuk informasi dari kader-kader pengawas
partisipatif.
Selanjutnya tantangan penggunaan smart phone, ini berkaitan
dengan kurangnya pemahaman penggunaan smart phon untuk kepentingan pengawasan
pemilihan. Kemudian tantangan selanjutnya yaitu pembentukan pengawas AdHoc ditingkat
desa maupun pengawas TPS. “Apakah saat ini masih ada masyarakat yang mau
menjadi pengawas ditingkat TPS taukah tidak?” Tanya Titaley
Selanjutnya, tantangan Anggaran pengawasan, yakni berkaitan
dengan memastikan distribusi logistik tersedia tepat waktu, tepat jumlah dan
dilaksanakan oleh penyelenggara sesuai dengan ketentuan.
Penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi penyelenggara
Pemilu baik itu KPU, Bawaslu dan jajaranya, pertanyaannya berapa yang
disediakan, kapan disediakan? Apakah saat pungut hitung saja atau disetiap
tahapan disediakan APD bagi penyelenggara?.
Pelaksanaan pengawasan tahapan dan non tahapan “ini
tantangan soal netralitas ASN, TNI/Polri dalam tahapan pemilihan. Pengawasan
terhadap politisasi Bantuan Sosial (Bansos) dalam hal ini penyalahgunaan
wewenang, ini memiliki tantangan tersendiri bagi Bawaslu dimasa pandemi ini.
Tantangan lainya terkait kewenangan Bawaslu, bagaimana
penerimaan laporan, bagaimana penanganan pelanggaran administrasi, pelanggaran
pidana, penyelesaian sengketa pemilihan, dan penanganan pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
“Ini menjadi sejumlah tantangan yang akan kami hadapi dimasa
pandemi covid” ungkap Titaley
Berkaitan dengan strategi pengawasan dimasa pandemi, Titaley
menjelaskan, Bawaslu melakukan identifikasi kerawanan disetiap tahapan. Setelah
itu Bawaslu akan melakukan langkah-langkah pencegahan prefentiv, selanjutnya
menyusun aktifitas pengawasan.
Sedangkan berkaitan dengan kerawanan pemuktahiran data
pemilih dimasa covid, Titaley mencontohkan pemuktahiran data PPDP dapat
dilakukan oleh orang yang tidak sesuai ketentuan.
“Bisa saja karena kita tidak
bisa ketemu muka dengan muka maka ini bisa dilakukan oleh orang lain, yang di
SK-kan oleh KPU orang lain tetapi dilaksanakan oleh orang lain”. Uajar Dia
Sedangakan berkaitan dengan tahapan pencalonan, Titaley
sebut ada tiga hal yang akan diawasi yakni, Pemuktahiran data pemilih,
pencalonan dan pemungutan suara.
Titaley juga menyampaikan bahwa, Bawaslu akan mengeluarkan
PerBawaslu sesuai dengan PKPU yang telah ditetapkan. Bawaslu juga sudah memiliki
beberapa aplikasi berbasis androit diantaranya, Sistim pengawasan pemilu
(Siwaslu), Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS), Gowaslu, SIPP, dan JDIH Bawaslu.
![]() |
| Diskusi Webinar Oleh RMI Wilayah Maluku |
Kemudian Ramly Umasugy (Ketua DPD Golkar Terpilih / Bupati Buru) sebagai narasumber dalam menyikapi tantangan penyelenggaraan Pilkada serentak Tahun 2020 di Maluku yang dihadapi partai politik di masa pandemi covid-19 ini, menurutnya Partai Golkar sangat siap dalam menghadapi Pilkada serentak dimasa pandemi ini, hal itu menurutnya dibuktikan dengan Rakornis Partai Golkar yang diselenggarakan tanggal 2- juni 2020 untuk memenangkan Pilkada serentak nanti.
Umasugy katakan, dimasa pandemi ini tentu model pendekatan
dan kampanye pun berubah. dikatakan, kampanye dor to dor dan metode lain yang
akan digunakan dengan tidak mengumpulkan masa dalam jumlah banyak, hal tersebut
akan disesuaikan dengan Protokol yang ada.
“Partai Golkar juga dimasa pandemi ini telah menjalankan
salah satu kegiatan yaitu Golkar Peduli Kemanusiaan di Tengah Pandemi Covid”
ungkap Umasugy
Tamabah Umasugy, Partai Golkar juga terus mengupdate dan
merespon situasi pandemi ini, tentunya ada hal-hal teknis dan strategis yang
akan dilakukan Partai Golkar untuk tetap berada ditengah-tengah masyarakat
untuk memberikan edukasi agar masyarakat tetap ikhtiar namun tidak terlalu
takut sehingga aktifitas-aktifitas yang lain juga dapat berjalan.
Lanjut Dia, Partai Golkar juga telah melakukan konsolidasi
pengurus disemua tingkatan untuk menghadapi Pilkada serentak dimasa pandemi
ini.
“Saya memonitor semua kegiatan yang dilakukan oleh
ketua-ketua DPD Partai Golkar yang akan melaksanakan Pilkada ini karena semua
telah diberikan semacam surat tugas sementara kecuali Kabupaten SBT karena
telah diberikan rekomendasi kepada incumbent yang juga merupakan ketua DPD
Golkar SBT untuk kemudian melakukan pendekatan dengan partai-partai yang lain
untuk siap melakukan Pilkada serentak.” Jelasnya.
Sementara August Mellaz (Direktur Sindikasi Pemilu dan
Demokrasi / Tim Penyusun RUU Pemilu) dalam pembahasannya mengakui situasi yang
ada saat ini memang memunculkan sejumlah kontrafersi. Hal tersebut diakuinya
tidak terjadi diindonesia saja namun juga terjadi di berbagai negara yang
terkena dampak pandemi covid-19 dan negara-negara tersebut dapat dijadikan
contoh oleh Indonesia dalam hal menjalankan demokrasi.
Menurutnya demokrasi secara global juga mengalami tantangan
lain yaitu terkait dengan apa yang disebut dengan proses demokrasi atau regresi
demokrasi. Karena itu ada dua hal yang harus dilakukan yakni, bagaimana disatu
sisi mengatasi pandemi dengan konteks kedaruratan, namun disisi lain bagaimana
kemudian demokrasi tetap dijaga.
“Problemnya, ketika demokrasi secara global juga mengalami
tantangan dari sisi regresi penurunan kualitas, kita juga ditantang untuk
melakukan langkagh-langkah efektif mengatasi pandemi” ungkap Dia
Dia katakana, pada kasus dibeberapa negara, ini semacam
kritik teks bagi penangguan demokrasi dan penerapan kekuasaan. Bagaimana
demikian demokrasi tetap berjalan, subtansi dan prosedur tetap berlaku dengan
baik, dengan keselamatan masyarakat menjadi prioritas.
“Keseimbangan itu yang memang diperlukan.” Kata Mellaz
“Percayalah dilema itu bukan saja dihadapi oleh Indonesia,
tetapi dihadapi juga oleh negara-negara lain. Memang sebahagian besar
negara-negara menunda pemilu karena covid yang muncul ditengah jalan dan
melakukan penundaan dan penjadwalan ulang. Dan Indonesia salah satunya.”
Ungkapnya
Dia katakana, Tahun 2020 dalam catatan IFES terdapat kurang
lebih 75 negara yang memiliki jadwal pelaksanaan pemilu. Pelaksanaan pemilu
juga bervariasi, baik Pemilu Presiden, pemilu legislatif (anggota DPR, Senat,
Majelis Nasional), pemilihan lokal, maupun referendum.
Sebagian besar negara melakukan penundaan (postpone) oleh
karena Covid-19 outbreak, dan melakukan penjadwalan ulang. Penundaan
berdasarkan data yang tersedia terjadi dalam hitungan bulan, satu tahun, hingga
batas waktu yang belum ditentukan.
Sebagian kecil mulai menetapkan jadwal pelaksanaan pemilu
setelah dilakukan penundaan. Indonesia termasuk salah satunya, menunda di bulan
September untuk dilanjutkan di bulan Desember 2020.
Dia juga memaparkan sejumlah negara ataupun negara bagian
(provinsi) telah melangsungkan pemilunya ditengah situasi pandemic diantaranya,
Israel (4/3/20), Perancis (15/3/20), Moldova (15/3/20), Zimbabwe (21/3/20),
Guyana (22/3/20), Kanada (26/3/20), Baviaria (15/3/20), Mali (29/.3/20),
Queensland Australia (29/3/20), Korea Selatan (15/4/20), Benin 17/5/20),
Burundi (20/5/2020), Suriname (25/5/2020). Upcoming: Mongolia (24/6/20), Malawi
(2/7/20), New Zaeland (19/9/20), Indonesia (9/12/20), Singapura (14/4/20).
Menurutnya, setiap negara memiliki masing-masing alasan
dalam pengambilan keputusan politiknya, baik untuk menunda hingga batas yang
belum ditentukan, maupun menunda dengan jadwal yang kemudian ditetapkan.
Lanjut Dia, Setiap negara yang melaksanakan Pemilu,
menggunakan sejumlah protokol kesehatan yang diberlakukan. Dia mencontohkan
seperti di Korea Selatan menyusun “Code of Conduct” yang secara khusus
ditujukan bagi pemilih. Queensland di Australia, membatasi jumlah pemilih di
setiap TPS tidak lebih dari 100 pemilih. Mali, pengaturan jarak dan baris
pemilih dalam pemberian suara. Alat kebersihan (sabun/cuci tangan diberlakukan,
namun terlambat datang). Bavaria. Penggunaan sarung tangan bagi petugas
penyelenggara dan pemilih membawa alat tulisnya sendiri, termasuk penggunaan
surat suara melalui pos. Canada. Tes kesehatan dilakukan bagi pemilih dan
membatasi hanya dua penyelenggara di dalam TPS dengan jarak minimal 2 meter.
Pemilih juga menerima surat suara tidak secara langsung dari tangan ke tangan,
tetapi menggunakan alat tersendiri. Sri Langka juga menerapkan “code of
conduct” pada Pemilu Parlemen dan Covid-19 yang ditujukan untuk Pemantauan
Pemilu. Dan Indonesia (Draft PKPU) Pilkada Dalam Kondisi Bencana Non Alam.
Mellaz juga mempertanyakan bagaimana dengan perempuan? Skema
ataupun protokol yang ada dan telah diterapkan tidak secara khusus untuk
perempuan.
“Contohnya di Pakistan, Protokol khusus diberikan oleh ECP
terhadap staf perempuan ECP untuk WFH hingga 6 April 2020. 50% staf bekerja di
kantor, setengahnya di rumah. Jam kerja antara pkl 10.00 pagi sampai 14.00
siang.” Ungkap Mellaz
Dijelaskan, Pilkada 9 Desember 2020 yang berlangsung di 270
daerah, 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota dengan Jumlah Pemilih Basis DP4
diperkirakan 105.396.460 pemilih. 52.778.939 laki-laki dan 52.617.521
perempuan. Jumlah ini diperkirakan bertambah, seiring dengan penundaan
pelaksanaan pada 9 Desember 2020.
Menurut Dia, Jumlah TPS 237.790 dan kemungkinan bertambah
jika pengurangan jumlah pemilih per TPS dilakukan, termasuk pengaturan jarak
diterapkan. Jumlah Penyelenggara AdHoc pada Pilkada 2015 sebanyak 1.807.189
(PPK, PPS, dan KPPS). Jumlah penyelenggara di atas akan bertambah seiring
dengan jumlah TPS, dan kombinasi antara Penyelanggara Pemilu AdHoc di KPU dan
Bawaslu serta Biaya Pilkada 2020 diperkirakan naik sekitar Rp 14 trilyun
(penyelanggara KPU dan Bawaslu), sebagi akibat penerapan protokol kesehatan.
Dia juga menyampaikan isu dan catatan penting terkait
overview pilkada 2020 diantaranya berkaitan dengan Akurasi Daftar Pemilih,
Perubahan model kampanye dan penerapan medsos sebagai platform kampanye (effect
dari hoax, kampanye negatif, dsb), Aspek pembiayaan dan sumber pendanaan
kampanye (ketergantungan calon pada sumber-sumber pendanaan). Data Pilkada 2015
dan 2017 KPK menunjukkan ketergantungan calon terhadap sponsor, dan sponsor
meminta kompensasi dari kontribusi dana kampanye.
Selanjutnya situasi physical distancing yang masih berlaku,
akan memberikan hambatan tersendiri bagi pengawasan dan pemantauan pelaksanaan
pilkada secara fair. Potensi petahana dalam melakukan ‘penyimpangan’ alokasi
sumber daya dalam kapasitas posisi dan jabatannya. Mengingat, dalam penetapan
status darurat bencana non alam, terdapat fleksibilitas penggunaan keuangan negara
dalam rangka penanganan pandemi.
Hingga saat ini, belum ada pembicaraan serius tentang
protokol bagi penyelenggara pemilu (perempuan), mengingat beban tugas dobel
yang diembannya. Sebagai penyelenggara dan pengelolaan urusan yang bersifat
domestik di tengah pandemi. Hingga saat ini, belum ada pembicaraan yang serius
tentang protokol yang ditujukan bagi pemantauan pemilu/ pilkada di tengah
pandemi.
Sedangkan Dr. Sherlock Lekipiouw, SH. MH (Akademisi Fakultas
Hukum UNPATTI) katakan, Pilkada dimasa Pandemi dalam presfektif konstitusi
seyogyanya diletakan dalam dua aspek yaitu aspek substantial mechanism dan
procedural mechanism (Pasal 28D (Ayat 1) dan Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD
1945.
Pelaksanaan prinsip/asas demokrasi konstitusional
membutuhkan jaminan atas hak asasi manusia dan pertanggungjawaban dalam kaitan
dengan aspek penyelenggaraan dan aspek pengawasan.
Dia katakan, Berkaitan dengan isu substantial mechanism,
penyelenggara pemilu ditingkat daerah tidak memiliki kewenagan regulative,
karena PKPU dibuat itu kewenangannya ada pada KPU dan Bawaslu RI.
Menurut Lekipiouw, seharusnya dalam situasional kondisi
seperti ini, jika didekatkan dengan prinsip proporsionalitas yang dikenal dalam
hukum internasional maka mestinya ruang itu diberikan kepada penyelenggara ditingkat
lokal atau daerah.
Terkait dengan aspek pengawasan, Lekipiouw punya catatan
buruk, karena aspek kewilayahan dan problem geografis itu hanya bersifat
politik. Dia belum mendapat pengaturan kongkrit didalam pengaturan hukum.
Karena itu kalau dalam RPB seyogyanya penyelenggara
ditingkat daerah mengusulkan supaya ada atribusi kewenangan didalam kaitan
dengan penggunaan kewenangan diskresi. Karena ada landasan konstitusi secara normative.
“UUD 30 Tahun 2014 menjadi dasar normative untuk bertindak
berkaitan dengan penggunaan wewenang itu” jelas Lekipiouw
Lanjut Lekipiouw, dalam procedural mechanism perlu kita
perhatikan apa yang disebut dengan isu yang berkaitan dengan asas qualiti
before the law.
“saya merujuk pada dalil yang dikemukakan oleh Hart bahwa
perlakuan didepan hukum harus didasari dengan kondisi yang sama, a contrario, kalau
kondisinya tidak sama maka dengan sendirinya perlakuannya berbeda, perlakuan
yang berbeda karena kondisinya tidak
sama bukan suatu diskriminasi hukum“ tandas
Lekipiouw (CL-02)



Tidak ada komentar