Masyarakat Adat Negeri Nusaniwe Tolak Pembangunan Site Radar Kementerian Pertahanan di Hutan Adat
Ambon, CahayaLensa.com – Masyarakat adat Dusun Erie, Negeri Nusaniwe, Kota Ambon, menolak keras keputusan Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1150 Tahun 2024 terkait persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan site radar dan sarana penunjang oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
Penolakan ini disampaikan langsung oleh Koordinator Tim Inisiator Masyarakat Adat Dusun Erie, Hansye Peea. Ia menegaskan bahwa pembangunan radar tersebut berada di atas lahan ulayat yang merupakan bagian dari hutan adat Negeri Nusaniwe, bukan hutan negara.
“Kami minta pembangunan radar segera dihentikan. Tanah Lesiapa Sama Suru Kota Api adalah milik adat dan tidak bisa diambil tanpa persetujuan serta musyawarah dengan masyarakat adat,” tegas Hansye, Sabtu (26/7/2025).
Hansye menambahkan, masyarakat adat tidak sedang melawan pemerintah, melainkan menuntut adanya dialog dan keadilan atas hak-hak adat yang diabaikan. Menurutnya, negara harus hadir untuk melindungi hak masyarakat adat, bukan justru mengabaikannya.
“Negara ini ada karena masyarakat adat. Prinsip kami, tidak menolak pembangunan, tapi kebijakan harus didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan bersama agar tidak merugikan satu pihak,” ujarnya.
Ia juga menyerukan agar pihak terkait, termasuk Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pertahanan, hadir bersama Pemerintah Negeri Nusaniwe untuk berdialog secara terbuka.
Senada dengan itu, anggota Tim Inisiator Masyarakat Adat, Pieter Siloy, mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam konflik ini.
“Kami ingin tahu, pemerintah berpihak kepada rakyat atau justru pada kekuasaan? UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sudah jelas mengatur bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial dan harus berpihak pada kepentingan masyarakat,” tegas Pieter.
Pieter menekankan bahwa penetapan hutan adat menjadi hutan lindung tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa proses dan musyawarah yang sah. Ia mengaku kecewa karena tidak ada sosialisasi dari pemerintah sebelum patok batas (PAL) dipasang di lokasi.
“Kami baru tahu setelah PAL dipasang. Tanah kami tiba-tiba dinyatakan milik negara. Luasnya 300 hektare, dan 8 hektare sudah dipakai tanpa sepengetahuan masyarakat,” ungkapnya.
Ia khawatir praktik ini akan menjadi celah bagi instansi lain untuk melakukan hal serupa.
“Jika pola seperti ini dibiarkan, masyarakat adat akan terus dirugikan. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 sudah jelas mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum atas wilayah adatnya, termasuk hutan adat,” tegas Pieter.
Ia menutup dengan permintaan agar pemerintah duduk bersama masyarakat adat untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil dan bermartabat.
“Kami berharap pemerintah membuka ruang dialog demi tercapainya solusi yang menguntungkan kedua belah pihak,” pungkasnya.
Tidak ada komentar