Komisi II DPRD Maluku Desak Pemerintah Cabut Aturan Alih Muat Ikan di Laut, Sebut Daerah Dirugikan Berat
Ambon, CahayaLensa.com – Komisi II DPRD Provinsi Maluku menyoroti dampak serius penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), yang dinilai mempersempit kewenangan daerah dalam menarik pajak dan retribusi sektor perikanan.
Ketua Komisi II DPRD Maluku, Irawadi, menjelaskan bahwa sejak penerapan regulasi tersebut, pendapatan asli daerah (PAD) menurun drastis. Kondisi ini, menurutnya, berdampak langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Maluku.
“PAD kita jatuh, APBD tertekan. Ini bisa menjadi bom waktu bagi pemerintah pusat. Banyak pelabuhan perikanan yang sudah dibangun kini tidak berfungsi optimal karena aktivitas alih muatnya tidak lagi dilakukan di darat,” ungkap Irawadi kepada wartawan di ruang Komisi II DPRD Maluku, Selasa (4/11/2025).
Irawadi menilai, kebijakan baru yang mengatur mekanisme alih muat hasil tangkapan ikan di laut (transshipment) membuat banyak aktivitas ekonomi di darat terhenti. Sebelumnya, kapal-kapal perikanan wajib menurunkan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan daerah. Dengan begitu, daerah memperoleh retribusi dan efek ekonomi berganda dari kegiatan tersebut.
Namun, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 28 Tahun 2022, mekanisme itu berubah. Hasil tangkapan kini banyak dialihkan langsung di tengah laut tanpa melalui pelabuhan lokal, yang berakibat pada menurunnya penerimaan daerah.
“Kalau aturan ini tidak direvisi, dampaknya sangat serius. Maluku akan semakin kehilangan sumber utama pembiayaan pembangunan,” tegasnya.
Komisi II mendesak pemerintah pusat segera mengevaluasi dan mencabut Permenhub tersebut. Menurut mereka, langkah itu diperlukan untuk mengembalikan hak fiskal daerah dan menghidupkan kembali ekonomi pesisir yang kini kian lesu.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lotharia Latif, disebut menjelaskan bahwa regulasi baru diterbitkan atas usulan dari wilayah timur Indonesia. Namun, klaim itu dibantah keras oleh Irawadi.
“Maluku tidak pernah mengusulkan aturan seperti ini. Kami tahu betul risikonya. Alasan bahwa ikan cepat rusak jika didaratkan juga tidak masuk akal, karena teknologi pengawetan ikan kita sudah maju,” tandasnya.
Irawadi menegaskan, kebijakan alih muat di laut justru lebih menguntungkan pengusaha besar dan merugikan masyarakat lokal serta pemerintah daerah. Ia menilai kebijakan tersebut tidak berpihak pada rakyat, dan meminta pemerintah pusat mendengar suara daerah yang kini menanggung beban berat.
“Aturan ini bukan untuk rakyat, tapi untuk kepentingan segelintir pengusaha. Kami sudah sampaikan dengan tegas kepada Kementerian, Maluku dirugikan sangat besar. Pemerintah harus segera evaluasi dan cabut aturan ini,” pungkasnya.


Tidak ada komentar